logo

Indigo dan Bayang-Bayang Realitas

Salam Budaya

Indigo dan bayang-bayang realitas adalah sebuah tema dalam pameran tunggal lukisan Edo Adityo saatini. Edo adalah pelukis kelahiran Madiun 19 Februari 1985 dan selama ini dia banyak berkarya di Madiun secara otodidak. Dengan berbekal naluri dan apresiasi saat beberapa kali melihat pameran lukisan dia belajar melukis secara natural. Terkadang dia juga aktif berselancar didunia maya untuk mencari obyek dan ide berkarya. Sederhana memang apa yang selama ini dilakukan Edo dalam menggali pengetahuan tentang seni lukis, tapi yang membuat saya tercengang adalah capaian proses kreatif dan muatan karya yang begitu dalam, dan telah mampu membangun imajinasi saya tentang karya-karyanya yang tak sesederhana proses pembelajaran dia dalam mengekspresikan kemampuan indigoya di dalam lukisannya yang intuitif dan ekspresionistik. Moment indigo dan bayang-bayang tentang pengalaman hidupnya menjadikan medium ekspresi dalam lukisan Edo dan pada akhirnya muncul visual karya imajinatif, intuitif dan ekspresif.

 

Pertemuan pertama kali saya dengan Edo ketika itu tahun 2014 saya mengunjungi pameran bersama beberapa pelukis dari berbagai kota yang diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta. Saat itu saya kaget melihat ada lukisan yang cukup asing bagi saya karena cukup berbeda dengan lukisan yang lain bahasa estetikanya. Childish dan spontan juga banyak menyimpan misteri dalam karya itu. Setelah saya ketemu dengan pelukisnya ternyata sungguh tak saya duga ternyata Edo benar-benar berjiwa anak-anak bicaranya terbatas, introvert dan sering melakukan kontemplasi. Tidak banyak wawasan seni rupa yang saya peroleh dari dialog saya dengannya, karena memang selama dia tinggal di Madiun dimana kota tersebut memiliki keterbatasan media informasi dan atmosfir kota yang belum terbangun tentang pesatnya dunia seni rupa kontemporer. Sungguh berbeda dengan Yogyakarta, Bandung, Bali atau Jakarta. Di kota asalnya memang jarang diadakan pameran seni rupa kontemporer dan diskusi-diskusi yang membahas tentang kekinian. Ada beberapa pelukis otodidak dan pelukis alumni ISI Yogyakarta yang tinggal disana, namun tidak cukup intens diadakan pameran dan proyek seni rupa yang membangun pengembangan apresiasi seni rupa ke publik. Salah satu pendamping saat dia melukis adalah Derrida Eko yang juga seorang pelukis dengan tehnik realis. Selain itu ibunya yang bernama Lusiana yang juga hobi melukis hampir setiap hari memberi support banyak dalam proses kreatifnya. Karya-karya Edo Adityo tergolong unik, magis dan eks-resionistik. Sebelum melukis Edo sering merenung dan berkontemplasi sambil memejamkan mata untuk merenungkan tentang bayang-bayang yang pernah ia saksikan dengan indera ke-6 (sixth sense). Pada saat perenungan dirasa cukup kemudian dia menggoreskan warna-warna di dalam kanvas yang selanjutnya bermunculan image yang bertebaran dalam sebuah komposisi. Seorang indigo memiliki kelebihan bisa melihat sosok makhluk roh halus yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang orang awam. Anak Indigo adalah mereka yang memiliki kemampuan diluar batas anak normal. Anak Indigo dipopulerkan oleh seorang yang bernama Nancy Ann Tappe dalam sebuah buku yang menemukan adanya warna aura manusia yang dihubungkan dengan kepribadian. Menurut penuturan ibu kandungnya Lusiana, sejak lahir Edo cukup normal hingga mencapai SD kelas 5. Saat mendekati kenaikan kelas tba-tiba sakit dan mengalami kelumpuhan fisik sampai sekarang. Moment ini dia abadikan dalam sebuah lukisan yang menggambarkan tentang kedekatan dia dengan seorang teman wanitanya saat dia normal tatkala kelas 5 SD. Sungguh mengharukan bagi saya tentang cerita tersebut dan di dalam lukisan itu tergambar secara imajiner dua sosok bocah yang menurut Edo menunjuk salah satu sudut ruangannya dan berkata: Fiona sudah ganti baju dan berdiri di sudut ruangan itu. Menurut Edo, Fiona sangat cantik, rambutnya coklat pirang dan bajunya ada gambar bunga-bunga. Namun saya tak dapat melihatny secara kasat mata. Dalam dialog saya dengan Edo sering menceritakan kekagumannya dengan tokoh artis layar kaca Indonesia Suzana yang sekarang di makamkkan di Magelang, Jawa Tengah. Ada beberapa lukisan dia yang menceritakan sosok Suzana. Dinamika kreativitas Edo tak selalu mengekspresikan dunia indigonya tapi terkadang muncul karya bergambar burung, bunga-bunga, tokoh wayang dan lain-lain. Kegemarannya memainkan dalang bersama beberapa wayang di rumahnya terkadang menginspirasi lukisannya. Perang Baratayuda adalah favoritnya dimana disitu dia bisa membaca tokoh jahat dan baik antara keluarga Pandawa dan Korawa. Produktivitas Edo melukis dimulai sekitar 6 tahun yang lalu dimana sebelumnya hanya sebuah hobi biasa. Setiap kali saya menanyakan tentang cita-citanya, dia selalu menjawab ingin menjadi pelukis. Dan semoga pameran ini adalah celebration atas cita-citanya dulu. Keterbatassan fisik dan kursi roda yang setiap hari  menemaninya juga tidak luput dari ide kreatifnya, hal ini terekam dalam sebuah karya yang berjudul “Angan-angan”, 80x70cm, akrilik di atas kanvas, 2014. Karya Edo cukup original karena dia tidak memahami peta seni rupa lokal maupun dunia, pemahamannya sangat terbatas atas karya-karya seni rupa maestro dunia. Tapi kita bisa tengok beberapa karya seniman besar yang cukup dekat secara gaya terhadap lukisan Edo. Jean Dubuffet lahir 31 Juli 1901 di Perancis. Dia adalah seorang perupa yang banyak mengerjakan lukisan dan patung juga karya multi dimensi lainnya. Salah satu karyanya yang pernah saya jumpai di museum Kroller Muller yang berlokasi di Houtkampweg 6 Otterlo di kota Arnhem Belanda. Lukisan Jean Dubuffet dengan tehnik impasto menggunakan medium cat minyak secara tumpang tindih hal ini yang juga sering dilakukan Edo dalam melukis. Brushstroke kasar dan spontan, ekspresif adalah tipe gaya lukisan Edo Adityo. Penggalian alam bawah sadar secara impulsif adalah proses kreatif yang bergulir terus menerus dengan bayang-bayang abstraksi. Pelukis Eropa yang juga sering menggunakan tehnik impasto adalah Karel Appel lahir pada tanggal 25 April 1921 di Amsterdam. Karel Appel banyak belajar di Rijksakademie di Amsterdam dan dia sebagai salah satu penggerak seni rupa kelompok “COBRA” yang cukup terkenal dan di tahun 80an dan cukup mempengaruhi perkembangan seni lukis kontemporer Indonesia. Ada beberapa nama lain dari kelompok ini diantaranya : Asger Jorn, Lucebert, Corneille dll. Sebagai anak indigo Edo setiap saat bisa berinteraksi dengan beberapa makhluk astral yang sering tinggal di beberapa rumah lama. Hampir setiap saya bertemu Edo pembicaraan kami tidak lepas dengan makhluk-makhluk astral yang berada di sekitar kami duduk bersama. Salah satunya saat kami mengunjungi gedung SMSR Yogya beberapa bulan yang lalu ternyata kedatangan kami disambut dua penari dengan pakaian tradisi jawa lengkap. Saat Edo membuat sketsa dari dua penari tersebut ternyata setelah saya amati dua figur penari dalam sketsa tersebut tak terlihat kakinya dan ekspresi wajah dari dua penari tersebut nampak dingin. Edo terlihat merasa biasa-biasa saja dengan keadaan tersebut namun berbeda dengan kami yang menemaninya sungguh penasaran dan besar rasa ingin tahu wujud dari makhluk astral tersebut. Ada kebiasaan Edo setiap dia selesai membuat sketsa, yaitu sering sketsa tersebut dia bakar untuk sebuah persembahan kepada leluhurnya yang sudah meninggal, salah satunya adalah ayahnya. Ini sebuah kebiasaan perilaku yang berbeda dengan beberapa pelukis yang pernah saya jumpai sebelumnya. Naif, unik, jujur tanpa pretensi yang berlebihan namun dibalik itu ada sebuah tujuan spiritual yang dilakukannya yaitu agar apa yang dia perbuat juga bisa dinikmati oleh para leluhurnya tutur Edo kepada saya.

Sudah cukup banyak karya lukisan yang dihasilkan oleh Edo Adityo yang hampir kebanyakan dibuat dengan bahan dasar kanvas. Sebagai pelukis ekspresionistik dia cukup produktif dengan ide-ide yang cukup unik tentang dunia metafisika dimana dia sering melukis hal-hal yang tidak kasat mata. Mari kita simak karya-karyanya yang diantaranya adalah “Pertarungan malaikat dan iblis”, 180x150cm, akrilik diatas kanvas, 2015. Di dalam karya tersebut menceritakan sebuah pertikaian antara kebaikan dan keburukan. Ada sebuah karya yang berbau religi yaitu “Goa Maria Rosa Mistika” 145x200cm, akrilik diatas kanvas, 2015. Terlihat beberapa sosok figur yang dibuat secara spontan, naif, ekspresif dengan tehnik stilasi yang berkarakter cukup kuat. Warna warni yang bertebaran bebas dan tekanan goresan yang cukup kuat menandakan gejolak batin Edo tersimpan sebuah emosi. Karya ini cukup berhasil secara visual sangat artistik dan memukau. Ada sebuah kejujuran yang mengalir lugas dan terbalut spiritualitas yang tercurah secara ekspresif dan naif. Dalam figur-figur tersebut nampak mengenakan kalung salib layaknya para umat Katolik maupun Kristiani. Di Jawa Tengah goa Maria banyak dikunjungi di kota Ambarawa, dimana disana banyak umat Katolik dan Kristiani berjiarah. Sebuah karya yang cukup simbolik dan menyimpan banyak misteri tertuang dalam karya yang berjudul “Mawar Berdarah”, 140x90cm, akrilik diatas kanvas, 2015. Sebuah bunga mawar warna merah besar sebagai centre of interest (pusat perhatian) dikelilingi beberapa bunga-bunga kecil yang kebanyakan cenderung berwarna kemerahan. Sekuntum bunga yang melambangkan keindahan terbalut warna merah darah sungguh puitis dan mistis karya tersebut. Ada sebuah karya yang berjudul “Tanah leluhur”, 140x90cm, akrilik diatas kanvas, 2014. Karya tersebut menggambarkan sebuah makam dimana disana juga ada makam ayahnya. Terkadang Edo juga melukis on the spot atau melukis diluar studio dimana obyek alam terbuka menjadi inspirasi para pelukis. Mungkin ini salah satu cara Edo Adityo mengatasi kejenuhan dalam berkarya di studio di rumahnya. Lukisan dia yang cukup unik berjudul ” Seribu Wajah”. 140x90cm, akrilik di atas kanvas, 2015. Tergambar beberapa puluh wajah besar kecil terkompoisisi secara acak dengan gaya childish. Wajah-wajah tersebut beralis tebal ada yang tersenyum, murung, tertawa, dan berbagai macam ekspresi ada disana. Hal ini scera sadar maupun tidak adalah rekaman sebuah interaksi sosial dimana Edo hadir di tengah-tengah hiruk pikuk karakter sosial yang ada. Sebagai seorang difabel (different abilities people) tentunya memiliki sensor emosi yang berbeda dengan layaknya masyarakat normal.

Difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivits, dan pembatasan partisipasi dalam lingkungan sosial yang mana kondisi tubuh dan mental penyandang difabel menjadikan sebuah rintangan dan hambatan dalam bersosialisasi. Edo Adityo telah bersyukur dimana kemampuan kreatif dan kecintaan dia terhadap dunia seni lukis adalah salah satu jawaban dimana eksistensi dalam struktur sosial bisa dia peroleh dengan kemampuan lebih layaknya masyarakat biasa. Sebagai seorang pelukis karya-karyanya tak bisa dipandang sebelah mata dan telah banyak mengundang simpati para sesama seniman dan dosen seni rupa karena karyanya yang bersifat personal dan unik.

“Sepak bola”,140x90cm, akrilik diatas kanvas, 2014 adalah salah satu karya seni lukis Edo yang cukup menarik, bukan ditinjau dari judulnya yang sederhana tetapi diamati dari ekspresi yang tertuang di dalam lukisan tersebut. Ada rasa marah, dendam, hasrat yang terbalut secara sublim di dalam karya tersebut. Sebagai penyandang difabel tentunya dia tak bisa melakukan itu (bermain bola) secara normal. Dalam lukisan itu tergambar bola bulat ditengah yang sedang diperebutkan oleh beberapa pemain dengan nomor punggung yang cukup nampak jelas di dalam lukisan tersebut. Namun yang paling menarik adalah bentuk imajiner para pemain bola disitu terkadang ada yang mirip mahkluk astral. Disinilah letak pergulatan antara sifat indigonya dan bayang-bayang realitas yang dia alami selama ini. Sebuah karya lukisan yang bersifat ekspresionistik, childish, intuitif, metafisis ada di dalam karya Edo Adityo. Sebagai pelukis yang sudah berusia 30an, tentunya tidak bisa dikatakan anak—–anak ataupun remaja lagi tapi sudah masuk kategori dewasa, namun demikian jiwa anak-anak (childish) masih menempel lekar dalam dirinya dan karyanya. Tentu hal ini tidak serta merta muncul ada namun lebih pada proses hidup yang melatar belakanginya. Salah satu ciri pokok jiwa childish yang menempel pada karya seni lukis adalah terletak pada unsur bermainnya. Teori ini dikuatkan oleh penulis dan pemerhati dunia anak-anak bernama Toby Talbot : “Play is the highest expression of human development in the child, for it alone is the free expression of what is in the child soul it is purest and most spiritual product of the child”. Dalam bahasa indonesia diartikan bahwa bermain adalah ekspesi yang paling kuat dari perkembangan dalam diri anak-anak, karena hanya itu yang bisa mengekspresikan sesuatu yang luhur dan spiritual dalam jiwa anak-anak. Pelukis dunia yang terkenal dalam kategoriini lebih tertuju pada kelompok “Cobra” yang lahir di Eropa. Guillaume Cornelis Beverloo yang lebih dikenal Corneille menggagas berdirinya kelompok ini setelah perang dunia kedua. Beberapa seniman yang tergabung dalam kelompok ini diantaranya adalah Karel Appel dan Lucebert juga Asger Jorn dan lainnya. Corneille dan Karrel Appel adalah dua seniman yang membawa masuk “Avant Garde” di Belanda dan hal ini pengaruhnya sangat besar ke sesama seniman dan bidang pendidikan. Nama cobra diambil dari tiga kota sebagai poros dimana mereka berasal yaitu, Copenhagen, Brussel, Amsterdam. Pada tahun 1995 ketika saya tinggal di Amsterdam memang banyak saya temuka karya Coeneille dan Lucebert di beberapa galeri dan museum seni termasuk di rumah-rumah kolektor di Amsterdam dan beberapa kota lainnya di Belanda. Sejak tahun 80an karya-karya kelompok ini sudah mengusai pasar seni lukis Eropa dengan karakter lukisan mereka yang childish dan spontan.

Sebagai pelukis muda Edo Adityo sebaiknya meningkatkan lagi piranti penguat dimana seorang pelukis seperti dia nantinya akan menemukan masa keemasannya. Selain menambah terus ide-ide kreatif yang berkembang juga memperbanyak melihat perhelatan seni rupa yang berkembang diluar supaya memperkaya wacana diri dan menghindari kemandekan kreativitas. Dengan kecanggihan tekhnologi digital tentunya segala informasi bisa diakses dengan mudah secara interkonektif. Disana banyak informasi sejarah seni rupa dunia dan perhelatan seni rupa kekinian dapat diakses lewat internet. Hal ini sebuah metode dimana seorang seniman otodidak belajar memahami dunia seni dengan segala parameter dan pencapaiannya. Selain produktif berkarya tentunya harus bisa membangun jejaring terhadap lintas profesi lain seperti, penulis, kurator, art dealer, kolektor, media masa, pemilik galeri dan lain-lain. Jejaring inilah yang nantinya akan membawa karya-karyanya lebih mudah terakses ke publik dan pecinta seni. Semoga spirit berkesenian Edo Adityo terus menyala dan karyanya mengisi peta seni rupa Indonesia untuk dunia. Selamat berpameran dan berapresiasi.

 

Yogyakarta, 1 Juli 2016
Heri Kris, Penulis adalah perupa, kurator independent alumni ISI Yogyakarta